Hukum Islam Tentang Hukum Keluarga

Hukum Islam Tentang Hukum Keluarga di Indonesia


A. Pendahuluan.

Hukum Islam mencakup berbagai aspek kehidupan manusia termasuk dalam hal hukum keluarga (al-ahwal asy-syahsiyyah). Sebenarnya yang masuk dalam ruang lingkup hukum keluarga tidak hanya terbatas pada persoalan penikahan atau perkawinan, namun juga menyangkut masalah hak dan kewajiban keperdataan lainnya seperti dalam hal waris-mewarisi, hak asuh anak dan di Indonesia juga mencakup masalah pembagian harta gono-gini atau juga biasa dikenal dengan istilah harta bersama. Namun pada artikel ini, penulis akan fokus pada hukum perkawinan karena hal lain tersebut hanyalah merupakan hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya perkawinan.

B. Hukum Perkawinan.

Hukum pernikahan sangat bergantung pada kondisi fisik, mental, finansial maupun niat calon pengantin. Karena hal inilah yang akan menentukan tujuan perkawinan sakinah mawadah wa rahmah dapat tercapai atau tidak.
  1. Sunnah.
    Hukum dasar perkawinan adalah sunnah bagi yang mampu baik secara fisik maupun finansial sebagaimana hadis Nabi Saw: yaa ma’syarasy syabab man istato’a minkum al’baa ah fal yatazawwaj (barang siapa di antara kamu yang “mampu” maka menikahlah). Contoh jika seseorang mampu secara fisik artinya sehat secara lahir dan batin, dan kemampuan finansial sudah cukup tapi masih dapat menahan diri dari melakukan perbuatan zina, maka ia disunnahkan untuk menikah.
  2. Makruh.
    Makruh hukumnya menikah bagi seseorang yang belum mampu secara finansial dan mental seperti anak yang masih sekolah karena belum bekerja dan secara kedewasaan belum matang.
  3. Haram.
    Hukum pernikahan juga bisa berubah menjadi haram jika diprediksi hanya akan mendatangkan kemadharatan dan menjauhkan dari tujuan awal perkawinan seperti misalnya menikah dengan niat menyakiti calon pasangannya kelak jika sudah menjadi suami isteri.
  4. Wajib.
    Jika seseorang sudah tidak bisa menahan diri dan takut terjerumus dalam zina, di samping itu ia juga sudah mampu secara finansial dan juga telah matang secara kedewasaan maka wajib hukumnya untuk menikah.

C. Rukun Akad Nikah.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai rukun nikah. Hal ini karena adanya perbedaan pemahanan dalam memahami makna nikah. Namun begitu, mayoritas ulama muslim terutama di Indonesia berpendapat dan berpegangan bahwa rukun nikah adalah sebagai berikut:
  1. Calon Suami
    Syarat calon suami:
    1). Muslim
    2). Laki-laki
    3). Tidak terpaksa (‘an taraddin)
    4). Bukan muhrim calon isteri.
    5). Tidak sedang melaksanakan ihram (haji) atau umrah.
    6). Berumur minimal 19 tahun (syarat tambahan yang ditentukan oleh pemerintah)
  1. Calon Isteri
    1). Muslimah
    2). Perempuan
    3). Tidak terpaksa (‘an taraddin)
    4). Bukan muhrim calon suami.
    5). Tidak sedang melaksanakan ihram (haji) atau umrah.
    6). Tidak dalam masa iddah atau berstatus sebagai isteri sah orang lain.
    7). Berumur minimal 16 tahun (syarat tambahan yang ditentukan oleh pemerintah)
  2. Wali
    1). Beragama Islam
    2). Laki-laki
    3). Sudah balig atau dewasa
    4). Berakal sehat
    5). Tidak sedang haji atau umroh
    6). Tidak sedang dicabut hak perwaliannnya
    7). Tidak dipaksa dan tidak fasiq
  3. Dua orang saksi yang adil.
    1). Beragama Islam
    2). Laki-laki
    3). Minimal dua orang
    4). Berakal sehat
    5). Merdeka
    6). Dapat mendengar, melihat dan berbicara
    7). Orang yang adil
  4. Ijab Kabul.1). Dengan kata-kata nikah, tajwij atau terjemahnya.
    2). Ijab diucapkan oleh wali atau yang mewakili dan dikabul (jawab) oleh mempelai laki-laki
    3). Antara kata ijab dan kabul harus langsung (muwalah) tidak ada batas waktu.
    4). Tidak dengan kata sindiran atau tulisan yang tidak dapat terbaca.
    5). Lafal ijab dan kabul harus jelas sehingga bisa didengar oleh wali dan saksi.
    6). Lafal ijab dan kabul harus sesuai.

D. Berakhirnya Perkawinan.

Ikatan perkawinan dapat putus atau berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
  1. Talak
    Perkawinan dapat putus jika suami mengucapkan talak terhadap isterinya dengan lafad yang jelas baik menggunakan kata talak (sarih) maupun sindiran (kinayah) serta terjemahannya.
  2. Fasakh
    Yaitu ketika setelah terjadi perkawinan ditemukan adanya syarat yang tidak terpenuhi seperti kemudian diketahui bahwa suami isteri tersebut adalah muhrim atau karena diketahui salah satu pihak mempunyai cacat fisik maupun mental.
  3. Ila’
    Yaitu sumpah seorang suami yang menyatakan bahwa dia tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih. Akibat dari ila’ adalah suami tidak boleh menggauli istrinya, kecuali setelah membayar kafarat yang berupa memberi makan kepada fakir miskin atau jika tidak mampu berpuasa tiga hari.
  4. Li’an.
    Li’an bisa terjadi jika seorang suami menuduh isterinya berzina atau tidak mau mengakui anak dengan bersumpah demi Allah yang menyatakan bahwa ia akan mendapatkan la’nat dari Allah jika tuduhan tersebut salah sementara isteri juga bersumpah bahwa jika tuduhan suami tersebut benar maka ia akan mendapatkan la’nat dari Allah dan masing-masing mengucapkan sumpah sebanyak 3 kali.
  5. Putusan Pengadilan.
    Di Indonesia sebuah perkawinan juga dapat putus atas putusan pengadilan seperti ketika isteri mengajukan gugatan dengan dalil bahwa suami telah melakukan hal-hal yang dibenarkan oleh undang-undang agar gugatan tersebut dapat dikabulkan seperti telah melakukan penganiayaan kepada anak ataupun isteri.